JEMBER, Satunurani.com – Rabu, (12/03/2025). Di negeri ini, keadilan sering kali seperti panggung sandiwara. Hukum bisa begitu tegas ketika menyasar rakyat kecil, tapi mendadak lembek kalau sudah menyentuh mereka yang punya kuasa. Dan kini, ada satu lagi cerita yang membuktikan betapa absurdnya sistem hukum kita—seorang petani di Jember harus berhadapan dengan ancaman 9 tahun penjara hanya karena selembar plastik.
Menurut pemberitaan media, kasus ini bermula ketika Abdul Aziz, seorang anak petani di Kalisat, dipanggil oleh Polsek atas laporan seseorang bernama ZA. Tuduhannya? Melakukan perampasan plastik. Ya, plastik. Saat diperiksa, Aziz memberikan keterangan bahwa tuduhan itu tidak benar dan bahkan menghadirkan saksi untuk menguatkan pernyataannya. Tapi lucunya, para saksi yang datang justru tidak diperiksa. Mereka disuruh pulang begitu saja, seakan kehadiran mereka tak ada artinya.
Hingga akhirnya, berkas kasusnya dinyatakan P21—berkas lengkap, siap maju ke meja hijau. Aziz ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jember pada 3 Maret 2025, dengan ancaman pasal 368 KUHP tentang pemerasan dengan kekerasan. Hukuman maksimal? 9 tahun. Sembilan tahun penjara hanya karena plastik yang nilainya tak lebih dari Rp. 450 ribu.
Menurut laporan media, pihak keluarga Aziz pun kebingungan. Sunawar, ayah Aziz, menyatakan bahwa pihak kepolisian sempat mencoba mediasi, tapi tidak ada titik temu. Namun, yang lebih mengherankan adalah bagaimana aparat penegak hukum tampak begitu agresif dalam kasus ini, sementara di banyak kasus besar lain, hukum bisa begitu longgar.
Bayangkan, dalam negeri ini, ada begitu banyak kasus besar yang merugikan negara miliaran rupiah. Ada koruptor yang terbukti merampok uang rakyat, tapi malah bisa santai di luar tahanan, entah dengan alasan sakit atau dapat potongan hukuman. Sementara seorang petani yang hanya berusaha membela haknya sendiri, malah harus menghadapi ancaman hukuman yang seolah-olah setara dengan pelaku kejahatan kelas kakap.
Ironisnya, Kapolsek Kalisat, AKP Bambang Hermanto, ketika dikonfirmasi media soal tuduhan perampasan yang dikenakan dengan pasal pemerasan, justru memilih diam. Bungkam. Tak ada penjelasan. Tak ada klarifikasi. Seolah-olah ini bukan urusan yang perlu dijelaskan ke publik.
Padahal, dalam Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2021, ada yang namanya restorative justice—sebuah pendekatan hukum yang seharusnya bisa digunakan untuk menyelesaikan perkara-perkara seperti ini tanpa harus menyeret orang ke dalam penjara. Tapi entah mengapa, opsi itu tidak digunakan di sini. Mungkin karena Aziz dan keluarganya hanyalah petani biasa, tanpa pengaruh, tanpa koneksi.
Menurut pemberitaan media, kasus ini menjadi tamparan bagi sistem hukum kita. Hukum di negeri ini lebih sering menjadi alat untuk menekan mereka yang lemah, sementara mereka yang kuat bisa berdansa dengan aturan. Di satu sisi, ada seorang petani yang harus berhadapan dengan ancaman 9 tahun penjara karena plastik. Di sisi lain, ada mereka yang mencuri miliaran dari uang rakyat, tapi masih bisa tersenyum di televisi, seakan tak terjadi apa-apa.
Jadi, pertanyaannya sekarang: masihkah kita percaya bahwa hukum itu adil? Atau ini hanya permainan belaka, di mana yang lemah selalu kalah, dan yang kuat selalu menang? (Saiful Rahman)