JAKARTA, Satunurani.com – Kamis, (02/11/2023). Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H., memberikan pandangan konstitusionalnya terkait usulan Anggota DPR RI Fraksi PDIP Masinton Pasaribu mengusulkan hak angket terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) terkait putusan soal syarat Capres-Cawapres.
Fahri Bachmid berpendapat bahwa pada hakikatnya angket adalah Hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan.
Secara konstitusional, Hak angket merupakan kewenangan atributif Dewan Perawakilan Rakyat (DPR) yang diberikan oleh UUD 1945, melalui ketentuan Pasal 20A ayat (2) UUD NKRI tahun 1945, bersama dengan hak interpelasi serta hak menyatakan pendapat, pada awalnya implementasi hak angket diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 8/PUU-VIII/2010, dengan reasoningnya adalah bahwa UU 6/1954 termasuk Undang-Undang yang tidak dapat diteruskan keberlakuannya karena terdapat perbedaan sistem pemerintahan yang dianut dari kedua konstitusi yang mendasarinya, yaitu berdasar pada UUDS 1950 sehingga dipandang tidak sejalan dengan UUD 1945, dan karenanya sebagai akibat inkonstitusionalitas dari UU 6/1954 tersebut dan agar norma Pasal 20A ayat (4) UUD 1945 dapat dilaksanakan, maka hak angket DPR mengacu pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Jo. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014.
Berdasarkan konstruksi hukum tata negara sesungguhnya Hak angket, hak menyatakan pendapat serta hak interpelasi merupakan salah satu bentuk pengawasan legislatif atas berbagai kebijakan eksekutif/pemerintah, selain bentuk instrumen pengawasan lainnya seperti rapat kerja komisi antara DPR dan Pemerintah.
Dari segi historis, dalam dinamika ketatanegaraan Indonesia, sebenarnya hak angket telah beberapa kali diajukan oleh DPR kepada pihak eksekutif atau Pemerintah, khususnya pada periode 1999-2004 yaitu: Hak angket atas Penjualan Tanker Pertamina; Hak angket Penyelenggaraan Ibadah Haji; Hak angket Kenaikan Harga BBM; dan Hak angket terkait Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilu Legislatif 2009, kemudian pada tahun 2011 instrumen hak angket digunakan terkait penyelamatan (bailout) Bank Century dan mafia perpajakan.
Fahri Bachmid berpendapat, terkait usulan Masinton, maka sesungguhnya kurang tepat dan salah alamat, sebab penggunaan angket secara doktriner maupun secara konstitusional merupakan suatu instrumen pengawasan DPR kepada pemerintah, atau dapat dikatakan dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan.
Dalam penjelasan ketentuan pasal 79 ayat (3) UU RI No. 17/2014 tentang MD3 secara “strict laws” telah di “explained” bahwa pelaksanaan suatu Undang-Undang dan/atau kebijakan Pemerintah dapat berupa kebijakan yang dilaksanakan sendiri oleh Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian, sehingga dengan demikin penggunaan alat angket sesungguhnya dimaksudkan untuk mengawasi lembaga eksekutif, bukan untuk lembaga yudikatif, tutup Fahri Bachmid. (SN01)