JAKARTA, Satunurani.com – Rabu, (17/04/2024). Wakil Ketua Tim Hukum Prabowo-Gibran sekaligus Pakar Hukum Tata Negara Dr. Fahri Bachmid, S.H., M.H. memberikan pendapat terkait dengan upaya berbagai pihak yang mengajukan diri sebagai “amicus curiae” termasuk Megawati Soekarnoputri melalui Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto pada Selasa, (16/04/2024).
Megawati telah mengajukan diri menjadi Sahabat Pengadilan atau “Amicus Curiae” Mahkamah Konstitusi (MK), dan menyampaikan pemikiran atau pendapatnya atas perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 yang sedang ditangani MK saat ini, terkait dengan fenomena beberapa pihak mencoba untuk mengajukan dirinya sebagai Amicus Curiae di penghujung sidang pada saat Majelis Hakim MK telah melakukan Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk membuat putusan MK menurut hemat saya adalah bentuk lain dari sikap intervensi sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK, yang dibingkai dalam format hukum atau pranata “Amicus Curiae”.
Dr. Fahri Bachmid berpendapat bahwa secara terminologi hukum serta praktik lembaga peradilan umum, sesungguhnya ini adalah “Friends of The Court” atau “Sahabat Pengadilan”, dari aspek fungsi sejatinya “amicus curiae” sebagai pihak atau element yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dan memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. ‘Keterlibatan’ pihak atau element yang berkepentingan dalam sebuah perkara tersebut hanya sebatas memberikan opini, dan praktik penggunaan pranata “amicus curiae” secara generik biasanya digunakan pada Negara-negara yang menggunakan sistem hukum “common law” dan tidak terlalu umum digunakan pada Negara-negara dengan sistem hukum “civil law system” termasuk Indonesia, akan tetapi pada hakikatnya praktik seperti ini tidak dilarang jika digunakan dalam sistem hukum nasional kita.
Dr. Fahri Bachmid menguraikan bahwa secara yuridis, konsep “amicus curiae” di Indonesia adalah ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan:
“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Dan secara praksis hukum, sesungguhnya praktik “amicus curiae” lebih condong dipraktikan pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung,
Pelembagaan “amicus curiae” secara samar-samar sesungguhnya dapat dilihat serta dipraktikan dalam persidangan pengujian Undang-undang di Mahkamah Konstitusi (“MK”), berdasarkan ketentuan hukum acara MK, pihak ketiga yang berkepentingan bisa mendaftarkan diri dan memberikan pendapat dalam proses pengujian Undang-undang “judicial review”. Konsep ini sebenarnya sedikit identik dengan praktik “amicus curiae” yang dianut oleh Negara-negara dengan sistem hukum “common law system” dan secara hukum sesungguhnya berdasarkan UU No. 24/2003 sebagaimana telah di ubah dengan UU RI No. 7/2020 tentang MK, serta Peraturan MK nomor 4/2023 tentang tata beracara dalam penyelesaian sengketa Pilpres sama sekali tidak dikenal adanya pranata hukum “amicus curiae” ini, sebab pada dasarnya hakim MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara konstitusi, termasuk memutus sengketa PHPU Pilpres, sandarannya adalah konstitusi serta fakta-fakta hukum yang secara terang benderang telah terungkap di dalam persidangan yang digelar secara terbuka untuk umum, MK tidak memutus suatu perkara konstitusi berdasarkan opini atau pendapat yang dikemas dalam bingkai “amicus curiae” yang tentunya pihak-pihak yang mengajukan dirinya sebagai “Friends of The Court” itu mempunyai “conflict of interest” secara subjektif terhadap perkara itu sendiri, pihak-pihak ini tentunya mempunyai “intention” agar memenangkan perkara “in case yang sifatanya kongkrit” dengan mencoba mengunakan sarana hukum tersamar “amicus curiae” atau bentuk lain dari intervensi yang sesungguhnya kepada lembaga peradilan MK.
Kami berpendapat bahwa saat ini adalah fase yang sangat krusial, dimana para Hakim MK sedang melaksanakan RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) sehingga biarlah para Hakim memutus perkara “a quo” secara objektif, dengan mengedepankan prinsip Imparsialitas “not supporting any of the sides involved in an argument” sebab pada prinsipnya hakim telah diperkaya dengan fakta dan alat bukti yang secara terang benderang telah terungkap dalam persidangan. Kami harapkan MK sejauh mungkin memghindarkan diri dari fenomena kontemporer “amicus curiae” ini, tutup Fahri Bachmid. (SN01)